Luh Ketutut Suryani
Berjuang Menyingkap Kegelapan
"Heaven!" Begitu Komentar banyak orang tentang Bali. Sisi gelap lenyap di permukaan panorama surgawi. Tak terlalu jauh dari ingar-bingar kawasan wisata, penderita gangguan jiwa berat dikucilkan di ruang-ruang sempit dan meruakkan anyir.
Berdasarkan survei Suryani Institute for Mental Healt (SIMH) tahun 2008 di Kabupaten Karangsem, Kabupaten Buleleng, dan Kecamatan Denpasar Timur, diperkirakan 7.000 orang di Bali mengalami gangguan jiwa berat, 300-an dipasung. Jumlah itu menjadi 9.000 pada tahun 2010 atau 2,3 per 1.000 penduduk. Memang jumlah itu lebih rendah daripada rata-rata nasional 4,6 per 1.000 penduduk, atau sekitar satu juta orang. Namun, Bali adalah tujuan wisata dunia sehingga perhatian internasional tercurah di sini.
Upaya Suryani berawal dari survei tentang bunuh diri di Bali. Kasus bunuh diri terbanyak disebabkan gangguan jiwa berat. Penelitian Suryani dan tim memperlihatkan beban ekonomi menjadi penyebab utama. Survei itu dia lanjutkan berdasarkan penelitian doktoralnya, Suryani memperkirakan jumlah orang dengan gangguan jiwa sekitar 50 orang. Suryani dan tim menemukan 855 orang di Karangasem dengan gangguan jiwa berat, Buleleng dan Denpasar ditemukan 120 orang dari 120.000 penduduk. Suryani menolak kontruksi kesehatan jiwa dalam teori-teori sempit dalam kerangka klinis. Rumah sakit jiwa tidak menyelesaikan persoalan besar di balik fenomena gangguan kejiwaan.
Upayanya mendapatkan perhatian pemerintah setelah hasil survei di sampaikan tak membuahkan hasil. Pemerintah mendiskriminasi gangguan jiwa program lebih terpusat pada penyakit fisik. Dengan bantuan dana Rp 1 miliar dari Gubernur Bali Mangku Pastika, tahun 2009 Suryani dan tim membantu 326 orang, dengan lama sakit yang berulang antara lima sampai 40 tahun.
Harapan Suryani tentang gubernur akan puas pupus, ia harus memotong dana karena banyak komentar negatif. sebulan kemudia dana itu dipotong 90% sehingga ia hanya menangani yang sangat serius. Pertengahan tahun 2010 Suryani bangkit, ia melanjutkan pengobatan gratis dengan subsidi silang ditambah sumbangan kolega diluar negeri. Dari 684 pasien yang diatangani, 37% sembuh tanpa obat, 62% membaik, tetapi masih perlu obat, dan 1% tak ada perubahan. Antara tahun 2012 sampai Agustus 2013 tersisa 346 pasien. Hasil evaluasinya, 58% sembuh tanpa obat dan 32% sembuh dan membaik dengan obat.
Suryani dikenal sebagai sosok kontrovesial, ia berani melawan apapu karena punya pijakan kuat yang didasari penelitian panjang. Suryani yang mengambil spesialisasi kedokteran jiwa karena ingin mempelajari diri sendiri menutarakan, pengalamanya melakukan
memory reframing ingin ia tularkan kepada orang lain, ia memilih teori memori karena memberi harapan.
Sumber : Koran Kompas ( Kamis, 23 Oktober 2014 )